Diminta BP Batam Bertanggungjawab atas Perobohan Hotel Purajaya

INFOSEMUA.com -| Gubernur pertama Provinsi Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah menyatakan Badan Pengusahaan (BP) Batam adalah pihak yang pertama harus bertanggung jawab dalam kasus yang menimpa PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik dan pengelola Hotel Purajaya, Nongsa, Batam. Pasalnya, keputusan untuk mencabut alokasi dari PT DTL ke perusahaan lain merupakan tindakan mematikan usaha.

“Saya kenal baik alm Zulkarnain, pendiri dan pengelola Hotel dan Resort Purajaya, yang sekarang dipimpin Sdr Rury Afriansyah. Mereka telah membangun hotel terbaik di masanya, dan menjadi kebanggaan putra Melayu. Tetapi, hanya karena alasan terlambat membayar uang sewa (UWT/Uang Wajib Tahunan), lalu dicabut, itu merupakan tindakan yang merusak investasi di Batam. Berapa banyak kerugian pengusaha, jika setiap keterlambatan harus mengorbankan asset berupa investasi yang telah dibangun,” kata Ismeth Abdullah, kepada media, di Batam, Minggu (02/03).

Persoalan keterlambatan membayar UWT, kata Ismeth Abdullah, adalah hal yang lumrah. Sebab BP Batam telah memiliki skema denda atas keterlambatan. Kecuali pengusaha yang menerima alokasi menyatakan tidak akan melanjutkan usahanya, BP Batam dapat mencabut.

“Waduh, berapa banyak investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun Hotel Purajaya, bangunannya masih sangat bagus untuk dioperasikan sebagai salah satu hotel pilihan wisatawan dalam negeri dan manca negara,” ujar Ismeth Abdullah, saat bertemu dengan wartawan di Batam.

Gubernur pertama dan juga mantan Ketua Otorita Batam itu, geram terhadap pengelolaan BP Batam yang kini terlihat tidak memihak pada investasi.

“Aturan-aturan yang dibuat tidak seharusnya merugikan investasi. Aturan tersebut seharusnya mendukung investasi, bukan malah menghambat. Jika BP Batam berdalih telah menjalankan kebijakanna sesuai aturan, tetapi faktanya merugikan pengusaha, bukankah aturannya yang harus diperbaiki,” ucap Ismeth Abdullah yang kini duduk di kursi Anggota MPR RI dari Dewan Perwakian Daerah (DPD) Kepulauan Riau.

Ismeth menegaskan dirinya setuju jika PT DTL di bawah kepemimpinan Rury Afriansyah, menggugat BP Batam untuk meminta pertanggungjawaban badan pengusahaan itu terhadap kerugian yang dialami oleh PT DTL.

“Ini (tindakan pencabutan alokasi dan perobohan asset hotel Purajaya) termasuk tindakan anti investasi, dan akan mengancam keberlangsungan dunia usaha di Batam. Bagaimana pengusaha yang telah berjasa dibalas dengan perobohan asetnya, wajar saja jika warga dan pengusaha Melayu marah, saya juga kecewa mendengar tindakan tersebut,” pungkas Ismeth.

Ancaman Amok Melayu

Tokoh Melayu dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau, Ketua Bidang Hukum, Datok Maskur Tilawahyu, SH, MH, menyatakan pihaknya merasa terpukul dengan peristiwa pencabutan alokasi lahan yang dilanjutkan dengan perobohan hotel Purajaya.

“Kami warga masyarakat adat Melayu di Kepri marah dengan tindakan zolim yang dilakukan oleh BP Batam. Tidak ada alasan yang dapat diterima akal sehat. Tanpa ada keputusan pengadilan, hotel kebanggaan kami dirobohkan. Ini merupakan sebuah tindakan kezoliman,” kata Maskur Tilawahyu, di hadapan Komisi III DPR RI, beberapa waktu sebelumnya.

“Hal yang sama telah terjadi di Rempang, di mana warga kami telah dizolimi, diusir dari kampungnya sendiri. Sama halnya dengan saudara kami Rury Afriansyah yang mana asetnya Rp922 miliar dihancurkan begitu saja, tanpa alas an yang kuat, tanpa ada keputusan pengadilan. Kalau ini dibiarkan, bukan sekadar ancaman bahwa akan ada kemarahan yang luar biasa, akan ada Amok Melayu akibat kezoliman yang kam rasakan,” ucap Maskur.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman menilai perobohan Hotel Purajaya di Batam tidak sah secara hukum. Pasalnya, dilakukan tanpa perintah pengadilan. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait dugaan penyerobotan lahan oleh BP Batam.

RDPU itu melibatkan kelompok masyarakat adat Melayu yang diwakili sejumlah tokoh, seperti Ketua Saudagar Adat Melayu Kota Batam Megat Rury Afriansyah, Ketua Harian Gerak Garuda Nusantara Azhari, tokoh adat Said Andi Shidarta, dan Ketua Bidang Hukum Lembaga Adat Melayu Tok Maskur.

Dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara II, Kompleks DPR, Senayan, Rabu, 26 Februari 2025, Habiburokhman mempertanyakan dasar hukum perobohan hotel tersebut yang melibatkan aparat penegak hukum tanpa adanya putusan pengadilan.

“Yang saya tahu, kalau eksekusi yang mengkoordinir adalah pengadilan, dasarnya putusan pengadilan, karena itu diundang penegak hukum setempat untuk ikut mengamankan pengosongan, itu kalau eksekusi. Kalau ini (perobohan Hotel Purajaya) saya enggak tahu judulnya apa, saya tidak mengenal dalam istilah hukum kalau tanpa putusan pengadilan ini bukan eksekusi,” pungkasnya.(tim_red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *